Minggu, 21 Oktober 2012

Akhlak Mulia adalah Cerminan Iman di Dada

Duhai saudariku muslimah, bagaimana pula seseorang memisahkan antara iman dan akhlak sedangkan terdapat hadits Rasulullaah Shallallaah ‘alaih wa sallam yang artinya:
“Kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka.” (HR. At Tirmidzi).
Tentunya pemisahan itu adalah hal yang tak mungkin dan menyulitkan, sedangkan dalam pelajaran yang bisa didapatkan di madrasah-madrasah saja terdapat materi aqidah akhlak dalam satu paket buku rujukan. Hal itu seakan memperkuat bahwa aqidah yang merupakan bentuk iman yang terdapat di dalam dada seseorang adalah sesuatu yang berkaitan erat dengan akhlaknya. Dengan demikian, hendaknya kita bersemangat dan berusaha menghiasi diri dengan akhlak mulia dalam dua aspek tersebut. Hal itu disebabkan,
“Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya, sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (terj. HR. Bukhari dan Muslim).
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbaad hafizhahullaah menjelaskan bahwa tidak sempurna keimanan seorang muslim hingga mengamalkan isi hadits tersebut, yakni mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia suka jika kebaikan tersebut ada pada dirinya. Kebaikan tersebut adalah meliputi perkara dunia dan akhirat serta dalam pergaulan. Hal itu mungkin membutuhkan kerja keras, akan tetapi yakinlah bahwa dengan kesungguhan dan kemauan serta niat yang ikhlas untuk menggapai kebaikan dan ridha-Nya, insya Allaah akhlak mulia bukanlah angan-angan semata dan akan dibukakan jalan keluarnya.
Ingatlah selalu motivasi ayat ini :
“Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh-pen-) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (terj.QS. Al-Ankabut: 69)
Barangkali adapula yang merasa berat dan bergumam: “bagaimana mungkin kedua aspek akhlak mulia bisa menghiasi diriku sedangkan masa laluku demikian suram, kebiasaan burukku demikian sulit kutinggalkan, karena demikianlah aku dididik dari semenjak aku dalam buaian, usiaku telah lanjut dan rambutku pun telah memutih, sering sakit-sakitan dan kesibukanku demikian banyak serta sedikit waktu luangku untuk mengolah kepribadian…” kemudian adapula yang tetap bermaksiat dan enggan melakukan latihan karena beranggapan akhlak buruk itu tak dapat diubah sebagaimana bentuk badan tak dapat diubah. Hendaknya pendapat semacam ini ditanggapi dengan pernyataan bahwa andaikan akhlak itu menolak perubaan, tentu nasihat dan peringatan tidaklah ada artinya.
Bagaimana engkau mengingkari perubaan akhlak sedangkan kita sama-sama melihat anjing liar bisa dijinakkan. Meskipun tidak dipungkiri bahwa sebagian akhlak ada yang mudah diubah dan ada yang sulit tetapi bukan mustahil diubah. Pengubahan akhlak buruk menjadi mulia bukan berarti mematikan akhlak tersebut sama sekali. Akan tetapi pengubahan tersebut adalah dalam rangka membawa akhlak menuju jalan tengah. Yaitu jalan yang sifatnya tidak tidak mengabaikan dan tidak pula berlebihan. Sebagaimana amarah, jika berlebihan akan menjadi tercela dan harus diubah. Namun, bukan berarti amarah tersebut dihilangkan karena diantara sifat orang yang bertaqwa adalah dia pernah marah, namun dia tahan marahnya. Allah berfirman, yang artinya:
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya.” (QS. Ali Imran: 134)
dalam ayat tersebut Allah tidak menggunakan kata-kata “dan orang-orang yang membekukan amarahnya.”
Oleh karena itu, hentikanlah bisikan-bisikan syaitan yang membisikan kemustahilan dalam perubaan karakter buruk, akan tetapi “Berusahalah untuk melakukan yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan menjadi lemah (merasa tidak mampu-pen-)..” (terj. HR. Muslim).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

My Blog List

Blogger news

Blogger templates

Blogger templates